PERLINDUNGAN HAK ANAK ATAS LINGKUNGAN YANG BAIK DAN SEHAT DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH
A. Hak Anak dalam Peraturan Perundang-undangan
Peraturan perundang-undangan menurut Prof. Bagir Manan adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum.[1]
Pada Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 tahun 2004 disebutkan Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden;
Peraturan Daerah.
1. UUD 1945
Secara konstitusional, hak anak yang berkaitan dengan lingkungan ditegaskan dalam perubahan kedua, Pasal 28B ayat (2). Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pengakuan ini diperkuat dengan Pasal 28H ayat(1) yang mengatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
2. UU No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak
Hak anak yang diakui dalam UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Dalam UU ini anak diartikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dalam Pasal 2 dikatakan bahwa Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera (Pasal 3). Perlu dicatat bahwa hak–hak tersebut bisa terjamin jika berada dalam lingkungan yang sehat dan baik. Maka dari itu Pasal 22 mewajibkan Negara dan pemerintah untuk bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak.
Hak atas tumbuh kembang[2] diturunkan ke dalam hak atas kesehatan, pendidikan, dan hak untuk berekspresi, dan memperoleh informasi. Dalam UU No. 23/2002, turunan hak atas tumbuh kembang ini diwujudkan dalam penyelenggaraan perlindungan dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial, termasuk agama.[3] Hak memperoleh pelayanan kesehatan merupakan hak terpenting dalam kelompok hak atas tumbuh kembang anak. Setidaknya, hak atas pelayanan kesehatan bagi anak dirujuk ke dalam Pasal 24 dan 25 KHA.[4]
3. Keppres tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak
Buruknya situasi anak mendorong perumusan instrumen hak anak.[5] Perumusan hak-hak anak mengalami proses dialogis yang panjang dan melelahkan, yang kemudian pada tahun 1989 berhasil mengesahkannya menjadi suatu konvensi PBB Hak Anak (United Nation’s Convention on the Rights of the Child.
KHA merupakan perjanjian internasional mengenai Hak Azasi Manusia (HAM) yang mengintegrasikan hak sipil dan politik (political and civil rights), secara bersamaan dengan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (economic, social and cultural rights). Kehadirannya mengesampingkan dikotomisasi antara hak sipil dan politik sebagai generasi pertama HAM dengan dengan hak ekonomi, sosial dan budaya yang dikenal generasi kedua HAM.
Indonesia sebagai negara peserta anggota PBB telah mengikatkan dirinya secara hukum (legally binding) dengan meratifikasi KHA pada tahun 1990.[6] Langkah hukum ratifikasi ini dilakukan dengan berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Peratifikasian Konvensi Hak Anak.[7] Oleh karena itu sejak tahun 1990, dengan segala konsekuensinya maka Indonesia terikat secara hukum untuk melaksanakan hak-hak anak. Ratifikasi ini disertai juga dengan Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak mengenai Perdagangan Anak dan, prostitusi Anak, dan Pornografi Anak – Optional Protocol to the Convention on the rights of The child on the sale of children, child prostitution dan child pornography yang telah ditandatangani pada tanggal 24 sepetember 2001.
Prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak yang berkaitan dengan pembahasan ini adalah menyangkut kepentingan yang terbaik bagi anak. Salah satu hal penting untuk mewujudkan amanat ini adalah dengan memberikan pemenuhan hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan.
4. UU 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengharuskan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup sebagai upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Dalam Pasal 4 disebutkan bahwa sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah :
a. tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup;
b. terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup;
c. terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan;
d. tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e. terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana;
f. terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Dalam hal ini perlu digarisbawahi tentang sasaran pengelolaan lingkungan hidup demi terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan. Maka dari itu setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, termasuk anak-anak.
Di samping peraturan perundang-undangan yang telah disebut di atas, pengaturan serupa terkandung pula dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang pada dasarnya memberikan akses pelayanan kesehatan anak. Tidak kalah pentingnya juga adalah ILO Convention No. 182 concerning The Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak) dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000.
5. Keppres tentang RANHAM 2004-2009
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia Tahun 2004-2009 menyebutkan bahwa tugas Panitia Pelaksana RANHAM Kabupaten/Kota meliputi 5 (lima) program pokok sebagai berikut:
a. Pembentukan dan penguatan institusi pelaksana RANHAM;
b. Persiapan harmonisasi Peraturan Daerah;
c. Diseminasi dan pendidikan Hak Asasi Manusia;
d. Penerapan norma dan standar Hak Asasi Manusia; dan
e. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan.
Dalam rencana kegiatannya, Keppres ini menyebutkan dua hal yang sangat relevan dengan tulisan ini. Untuk melaksanakan program yang kelima, Keppres ini menyebutkan bahwa bertujuan untuk memberikan pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya, maka program/kegiatan yang dilakukan di antaranya:[8]
v peningkatan upaya pemenuhan hak atas kesehatan, terutama bagi kelompok masyarakat di bawah garis kemiskinan, korban bencana dan pengungsi internal baik disebabkan oleh bencana maupun konflik, kesehatan bayi, anak, dan ibu hamil;
Pelaksana program ini adalah Departemen Kesehatan dan instansi terkait di Pusat dan Daerah. Indikator keberhasilannya adalah meningkatnya pelayanan kesehatan masyarakat yang dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.
v peningkatan upaya pemenuhan hak atas pendidikan, terutama bagi kelompok masyarakat di bawah garis kemiskinan, korban bencana dan pengungsi internal baik disebabkan oleh bencana maupun konflik, dan hak pendidikan fungsional. Pelaksana program ini adalah Departemen Pendidikan Nasional dan instansi terkait di Pusat dan Daerah. Indikator keberhasilannya adalah berkurangnya tingkat buta aksara dan anak putus sekolah.
B. Peran Pemerintahan Daerah Terhadap Lingkungan yang Baik dan Sehat Bagi Anak
Kata “peran” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti bertindak sebagai.[9] Dengan memakai imbuhan –an, yaitu “peranan”, diartikan sebagai tindakan yang dilakukan seseorang dalam suatu peristiwa.[10] Di lain pihak, pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[11]
Berkaitan dengan peran pemerintahan daerah terhadap lingkungan yang baik dan sehat bagi anak, dapat dikatakan memiliki tanggungjawab terhadap segala upaya pemenuhan hak anak atas hak tersebut. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dsb.).[12] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemerintahan daerah berkewajiban menanggung atas pemenuhan keadaan lingkungan yang baik dan sehat bagi anak yang hidup dalam teritorialnya.
Peran yang dipertegas dengan tanggung jawab ini merupakan amanat yang paling penting yang terkandung dalam Konvensi Hak Anak.[13] Salah satu hak yang terkait dan penting dalam pembahasan ini adalah hak anak untuk memperoleh informasi serta akses pada pendidikan dan mendapat dukungan pada pengetahuan dasar tentang kesehatan dan gizi (pasal 24 ayat 2 huruf e).[14]
1. Kerangka Negara Kesatuan
Dalam menjalankan Negaranya Indonesia mengakui konsep Negara hukum. Pengakuan ini pernah tercantum dalam penjelasan UUD 1945, namun sekarang sudah tidak berlaku lagi, yang berbunyi “Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat)”. Sebagai penggantinya tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) perubahan ketiga yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Dalam konsep Negara hukum itu sendiri mengandung syarat-syarat yang sejatinya tercermin dalam implementasinya. Syarat-syarat tersebut dikemukakan oleh para jurist Asia Tenggara dan Pasifik dalam buku The Dynamics Aspects of the rule of law in the Modern Age” tentang syarat rule of law, sebagai berikut:[15]
Perlindungan konstitusional dalam arti bahwa konstitusi selain daripada menjamin hak-hak individu harus menentukan pula cara prosedural untuk memperoleh perlindungan hak-hak atas yang dijamin;
Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
Kebebasan untuk menyatakan pendapat;
Pemilihan umum yang bebas;
Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi;
Pendidikan civic.
Syarat-syarat tersebut nampaknya menekankan tentang pentingnya keberadaan konstitusi. Di Indonesia sendiri konstitusi yang diwujudkan dalan UUD 1945 termasuk konstitusi yang terdokumentasi. Sejalan dengan itu Prof. Sri Soemantri menyebutkan tiga hal mendasar yang perlu menjadi materi muatan konstitusi. Ketiga hal tersebut adalah:
Terdapat susunan ketatanegaraan yang bersifat fundamental;
Terdapat hubungan kewenangan antara organ-organ kenegaraan yang bersifat fundamental;
Adanya jaminan hak asasi manusia.
Dengan keadaan seperti itu dalam UUD 1945 perubahan kedua diatur bab tentang Pemerintahan Daerah, lebih tepatnya dalam pasal 18. Ayat (1) mengatakan, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”. Sedangkan ayat (2) mengatakan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.
2. Urusan Otonomi Daerah
Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengklasifikasi urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan;
g. penanggulangan masalah sosial;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Selain itu, ditambahkan dalam ayat (2) bahwa urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Pemberian urusan wajib yang tercantum dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah memang tidak secara eksplisit mengamanatkan tentang perlindungan HAM. Akan tetapi, dari keseluruhan butir-butir urusan tersebut substansinya adalah tentang hak-hak dasar manusia.
B. Hak Asasi Manusia dalam Pembangunan Berkelanjutan
Indonesia tidak bisa terlepas dari pergaulan dunia. Jaminan hak asasi manusia saat ini sudah menjadi bagian penting dari perhatian dunia. Bahkan penegakan ham seolah-olah menjadi salah satu indikator kemajuan suatu bangsa.
Sebagai akibat dari proses globalisasi yang sedang terjadi di semua bidang, kita membedakan tiga generasi hak asasi manusia. Generasi pertama adalah hak-hak politik dan sipil yang sudah lama dikenal dan selalu diasosiasikan dengan pemikiran di negara-negara Barat. Generasi kedua adalah hak ekonomi dan sosial, dan yang ketiga adalah hak atas perdamaian dan pembangunan (development), yang terutama dipengaruhi oleh kepentingan negara-negara Dunia Ketiga. Selain itu, mereka juga mengemukakan konsep relativisme kultural, yaitu pemikiran bahwa hak asasi harus dilihat dalam konteks kebudayaan masing-masing, karena hal ini dapat menyebabkan perbedaan dalam pelaksanaan hak asasi manusia itu.[16]
Proses pembangunan yang menjadi bagian dari perlindungan has asasi manusia generasi ketiga ini dapat berpengaruh terhadap kondisi lingkungan. Bahkan pembangunan bisa berdampak malah akan menjadi pemicu kerusakan lingkungan.
Sejalan dengan hal itu, almarhum Munir pernah berkata[17]: “bahwa perspektif lingkungan itu sangat penting untuk dikaitkan dengan hak asasi manusia, tetapi yang lebih penting dari itu semua, bagaimana menjadikan perspektif ini dapat membumi dan menjadi konsern semua orang, sehingga dapat melahirkan sebuah gerakan-gerakan politik yang kuat serta dapat mempengaruhi perubahan-perubahan signifikan dari masalah hak asasi manusia dan lingkungan hidup”.
Beberapa peraturan yang berkaitan dengan lingkungan dan perlindungan hak anak tersebut terkandung dalam Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Hal-hal yang penting untuk diperhatikan ini merupakan penyempurnaan dan pendalaman dari prinsip-prinsip dalam deklarasi Stockholm tahun 1972 yang secara konseptual dirumuskan oleh Komisi Brundtland, lalu dituangkan sebagai prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dalam Deklarasi Rio tahun 1992, dan dikembangkan dan dirumuskan lebih rinci dalam deklarasi Johannesburg tahun 2002. Laporan Brundtland dianggap sebagai titik awal bagi pembangunan berkelanjutan sebagai kebijakan lingkungan yang mengarah pada pembentukan aturan yang disebut “international law in field of sustainable development”.[18] Bahkan di tingkat ASEAN pun telah banyak perjanjian lingkungan hidup yang disepakati antar Negara regional (Asean Agreements on Environment).
Walaupun sejumlah instrumen hukum internasional, regional dan nasional telah dibentuk, dalam kenyataannya, lingkungan hidup bahkan terus-menerus memperlihatkan kemorosotannya akibat ekploitasi.
C. Penegakan HAM Melalui Desentralisasi
Dalam upaya penegakan peraturan-peraturan tersebut Indonesia akan sangat kesulitan jika mengelolanya secara terpusat. Sedangkan wilayah Indonesia begitu luas.
Wilayah negara Republik Indonesia yang sangat luas dan terdiri dari ribuan pulau besar dan kecil dari sabang sampai merauke serta jumlah penduduk yang lebih dari 200 juta jiwa, apabila hanya diurus oleh pemerintah yang terpusat di Ibukota Negara saja tanpa dibagi-bagi dalam lingkup yang lebih kecil tentunya akan sangat sulit dan memerlukan waktu yang lama untuk mencapai tujuan negara.
Dengan keadaan seperti itu dalam UUD 1945 perubahan kedua diatur bab tentang Pemerintahan Daerah, lebih tepatnya dalam pasal 18. Ayat (1) mengatakan, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”. Sedangkan ayat (2) mengatakan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.
Penyelenggaraan pemerintahan negara yang baik adalah yang dapat menampung aspirasi dan kebutuhan masyarakat sampai ke pelosok wilayah negara, maka perlu dibentuk satuan-satuan pemerintahan di daerah-daerah tersebut dan pemerintah daerah ini merupakan tingkat pemerintah yang langsung berhubungan dengan masyarakat.
Berbicara tentang pemerintahan di daerah tidak akan lepas dari asas kedaerahan dalam pemerintahan, menurut Amrah Muslimin asas kedaerahan mengandung dua macam prinsip pemerintahan, yaitu :[19]
Dekonsentrasi, merupakan pelimpahan sebahagian kewenangan pemerintah pusat pada alat-alat pemerintah pusat yang ada di daerah,
Desentralisasi, merupakan pelimpahan wewenang kepada badan-badan dan golongan-golongan dalam masyarakat dalam daerah tertentu untuk mengurus rumah tangganya sendiri.
Pasal 1 Ketentuan Umum UU No. 32 Tahun 2004 menjelaskan tentang definisi desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Dari Logemann, Colloge aantekemingen, 1947[20], desentralisasi dalam arti luas terdiri dari:
Staatkundige atau Politieke decentralisatie. Isinya adalah kewenangan membuat peraturan (regelende bevoegheid) dan kewenangan membuat keputusan atau mengurus (bestuurende bevoegheid).
Ambtelijke decentralisatie atau deconsentratie. Lingkup staatkundige decentralisatie dibagi dua, yaitu:
1) territoriale decentralisatie;
2) fungctionele decentralisatie.
Bentuk dari nomor 1 adalah autonomie dan medebewind yang kadang-kadang disebut juga sebagai medebestur, selfgovernment, zelfbestuur. Pengertian otonomi di sini sama dengan isi dari staatkundige atau politiche decentralisatie.
Desentralisasi haruslah dapat membuat pemerintah daerah lebih kreatif, responsif dan efektif dalam membuat kebijakan didaerahnya untuk membentuk sistem pemerintahan yang representatif. Pemerintah daerah seharusnya dapat menampung segala kebutuhan masyarakat daerah dan menampung partisipasi masyarakatnya sehingga dapat membuat perencanaan dan prioritas untuk mengatasi kemiskinan, membuka lapangan kerja, dan perbaikan lingkungan hidup.
D. Fungsi dan Bentuk Peraturan Perundang-undangan
Peraturan perundang-undangan menurut Prof. Bagir Manan adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum.[21]
Peraturan perundang-undangan adalah subsistem dari asas dan kaidah hukum. Karena itu politik perundang-undangan tidak dapat dipisahkan dari politik mengenai asas dan kaidah hukum. Politik mengenai asas dan kaidah hukum itu sendiri merupakan sebagian dari politik hukum yaitu politik yang berkaitan dengan isi (substansi) hukum. Sedangkan politik hukum selain mengenai isi (asas dan kaidah hukum) juga menyangkut politik yang berkaitan dengan (tata cara) pembentukan hukum, politik penegakan hukum, politik yang berkaitan dengan sumber daya, sarana dan prasarana hukum.[22]
Lebih jauh menyangkut hal di atas, Bagir Manan mengemukakan pula tentang fungsi peraturan perundang-undangan, yang dapat dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu :[23]
Fungsi Internal, adalah fungsi pengaturan perundang-undangan sebagai sub sistem hukum (hukum perundang-undangan) terhadap sistem kaidah hukum pada umumnya secara internal, peraturan perundang-undangan menjalankan fungsi penciptaan hukum, fungsi pembaharuan hukum, fungsi integrasi pluralisme hukum, fungsi kepastian hukum.
Secara internal, peraturan perundang-undangan menjalankan beberapa fungsi[24]:
Fungsi Eksternal, adalah keterkaitan peraturan perundang-undangan dengan tempat berlakunya. Fungsi eksternal ini dapat disebut sebagai fungsi sosial hukum, yang meliputi fungsi perubahan, fungsi stabilisasi, fungsi kemudahan. Dengan demikian, fungsi ini dapat juga berlaku pada hukum-hukum kebiasaan, hukum adat, atau hukum yurisprudensi. Bagi Indonesia, fungsi sosial ini akan lebih diperankan oleh peraturan perundang-undangan, karena berbagai pertimbangan yang sudah disebutkan di muka. Fungsi sosial ini dapat dibedakan:[25]
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas tentunya dapat kita ketahui bahwa perda merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan terendah dari hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia sehingga diharapkan perda yang dibentuk oleh pemerintah daerah dapat aplikatif dan sesuai dengan tujuan dan fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan secara umum.
Dari uraian di atas terlihat bahwa upaya pemenuhan hak anak atas lingkungan yang baik dan sehat di Kota Bandung perlu peranan Pemerintah Daerah. Arah kebijakannya dapat diwujudkan ke dalam pembentukan dan penegakan peraturan daerah.***
[1] Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, Ind Hill Co, Jakarta, 1992, hlm. 3.
[2] Pasal 4 UU Nomor 23/2002.
[3] Muhammad Joni, Sekilas Tentang Hak-Hak Anak: Instrumen Internasional dan Hukum Nasional, Makalah, disampaikan pada acara Bimbingan Teknis Adovasi Hak Anak, yang diselenggarakan oleh Departemen Hukum dan HAM Kanwil Jawa Barat, 24 Juli 2006, di Bandung.
[4] lihat Pasal 8 UU No.23/ 2002.
[5] Ibid.
[6] Menurut catatan, Indonesia meratifikasi KHA namun melakukan reservasi melalui pernyataan (declaration) atas 7 (tujuh) pasal KHA, yakni pasal 1, 1, 16, 17, 21, 22, dan 29, dalam ibid.
[7] Pada saat KHA diratifikasi, di Indonesia masih berlaku Surat Presiden RI Nomor 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960 tentang Pembuatan Perjanjian-perjanjian dengan Negara Lain, yang selama ini dipergunakan sebagai pedoman dalam membuat dan mengesahkan perjanjian internasional. Saat ini, dengan disahkannya UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yang mencabut Surat Presiden RI Nomor 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960. Menurut pasal 9 ayat 2 UU No. 24 Tahun 2000, pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan Undang-undang atau Keputusan Presiden, dalam Muhammad Joni, Ibid.
[8] Lampiran I, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia Tahun 2004-2009, tanggal 11 Mei 2004, Bagian III.
[9] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, 2005.
[10] ibid.
[11] Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
[12] Kamus Besar Bahasa Indonesia, op.cit.
[13] lihat Paulus Hadisupprapto, Peranan orangtua dalam Pengimplementasian Hak-hak Anak dan kebijakan Penanganan anak bermasalah, dalam jurnal “Pembangunan Kesejahteraan Sosial”, DNIKS, No. 7, Mater 1996, hlm. 35, dalam Muhammad Joni, op.cit.
[14] Muhammad Joni, ibid.
[15] Lihat dalam Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busro, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, cetakan kedua 1985, hlm.115-116.
[16] Miriam Budiardjo, Menggapai Kedaulatan Rakyat, Mizan, Bandung, 1998. hlm. 40.
[17]Ridha Shaleh, Ecocide, Politik Kejahatan Lingkungan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Walhi, Jakarta, 2005, hlm. iv.
[18] Proses/Mei-Juni 2005; Wawancara dengan Dajaan Imami.
[19] Amrah Muslimin, S.H., Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, bandung, 1986, hlm. 4
[20] Ateng Syafrudin, Handsout dan Course Material Hukum Pemerintahan Daerah, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Program Studi Hukum Tata negara, hlm. 1.
[21] Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, Ind Hill Co, Jakarta, 1992, hlm. 3.
[22] Bagir Manan, Politik Perundang-undangan dalam rangka Mengantisipasi Liberalisasi Ekonomi, Makalah pada Pelatihan Legal Drafting Angkatan II PT. Telkom (Persero), 1999. hlm. 1.
[23] Bagir Manan, Fungsi dan Materi Peraturan Perundang-Undangan, Makalah Pelatihan Legal Drafting Angkatan II PT. Telkom (Persero), 1999, hlm. 47.
[24] Bagir Manan, Fungsi dan Materi Peraturan Perundang-Undangan, Makalah Pelatihan Legal Drafting dan Business Contact, 1999, hlm. 17-20.
[25] Bagir Manan, Fungsi dan Materi Peraturan Perundang-Undangan, Op.cit, hlm. 21-22.
0 Response to "PERLINDUNGAN HAK ANAK ATAS LINGKUNGAN YANG BAIK DAN SEHAT DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH"
Posting Komentar