Mengasuh Anak Cerdas dan Kreatif
Ibu mana yang tak bangga melihat anaknya lebih menonjol ketimbang teman-temannya dalam pelajaran sekolah? Dalam berbagai kesempatan, si ibu pasti tak bosan bercerita tentang anak kebanggaannya, selain berusaha memberikan yang terbaik kepada anaknya.
Enda (35), misalnya, setiap malam berusaha meluangkan waktu untuk memantau pelajaran sekolah anaknya. "Meski capek, saya berusaha tetap memeriksa PR yang diberikan, bahkan mengajari apabila ada hal yang kurang jelas," tutur Enda.
Tak ada yang salah dengan upaya mencetak anak cerdas dan kreatif. Persoalannya, sampai di mana upaya-upaya tersebut bermanfaat bagi anak? Selain itu, persoalan berikutnya, sampai sejauh mana anak dapat mengikuti tanpa merasa terpaksa sehingga akhirnya justru tidak produktif dan menjadi masalah di kemudian hari?
Jangan lupa juga, secara alamiah, usia kanak-kanak adalah saat untuk bermain. Bermain juga penting untuk melatih fisik, emosi, imajinasi, dan kreativitas anak. Sayang sekali apabila ibu sampai melarang anak bermain semata karena "program anak cerdas dan kreatif".
"Mencetak" anak cerdas dan kreatif juga berarti ibu harus berperan aktif. Memang, anak yang kreatif tidak aakn jadi dengan sendirinya, melainkan harus diarahkan. Namun, di sisi lain, kreativitas -yang mensyaratkan kebebasan- tidak akan berkembang apabila anak tidak diberi kesempatan. Kebebasan tanpa batas dapat berakibat buruk dan justru tidak menunjang kreativitas.
Sebaliknya, disiplin kaku tanpa toleransi berpotensi mematikan kreativitas anak. Oleh karena itu, kebebasan dan disiplin harus dimainkan secara serasi agar anak dapat mengembangkan potensinya secara optimal.
Kreativitas
Imajinasi adalah kata kunci kreativitas. Menurut para ahli, potensi kreativitas itu mulai meningkat pada usia 3 tahun dan mencapai puncaknya pada usia 4,5 tahun. Kemudian, potensi itu akan segera menurun pada saat masuk sekolah dasar. Oleh karena itu, upaya perangsangan kreativitas pada usia prasekolah menjadi sangat penting.
Ada banyak cara untuk mengembangkan kreativitas anak. Di rumah, ibu dapat melakukannya, misalnya dengan membiarkan anak mengatur kamar tidurnya sendiri. Sedangkan di sekolah, dapat dilakukan dengan mengembangkan cara belajar-mengajar yang mendorong anak untuk aktif. Cara-cara belajar yang mengandalkan metode hafalan atau memaksa anak untuk mengikuti berbagai kursus justru merusak kreativitas dan imajinasi anak.
Anak bermain bagi banyak ibu dianggap sebagai "pemborosan waktu". Dalam pandangan mereka akan lebih baik jika waktu untuk bermain itu dipakai untuk kegiatan belajar yang tidak mengandung unsur permainan. Anggapan ini sangat keliru, karena bermain bagi anak bukanlah sekadar untuk mengisi waktu senggang. Seorang pakar bahkan mengingatkan, jika kebebasan bermain tersebut dihambat, pada masa selanjutnya daya kreatif, daya imajinasi, bahkan kemampuan belajar anak bakal mengalami hambatan yang serius.
Musik, olahraga, dan berbagai kegiatan yang melibatkan gerakan lainnya banyak menentukan perkembangan anak untuk masa depan. Banyak ibu hanya peduli dengan hasil akhir, tanpa tahu bagaimana proses belajar terjadi. Hal itu yang mengakibatkan pengajaran hal yang bersifat kreatif, misalnya musik, sama seperti mengajar ilmu-ilmu lain. Padahal, jika diajarkan dengan benar, dapat meningkatkan daya imajinasi da pemahaman anak.
Enda (35), misalnya, setiap malam berusaha meluangkan waktu untuk memantau pelajaran sekolah anaknya. "Meski capek, saya berusaha tetap memeriksa PR yang diberikan, bahkan mengajari apabila ada hal yang kurang jelas," tutur Enda.
Tak ada yang salah dengan upaya mencetak anak cerdas dan kreatif. Persoalannya, sampai di mana upaya-upaya tersebut bermanfaat bagi anak? Selain itu, persoalan berikutnya, sampai sejauh mana anak dapat mengikuti tanpa merasa terpaksa sehingga akhirnya justru tidak produktif dan menjadi masalah di kemudian hari?
Jangan lupa juga, secara alamiah, usia kanak-kanak adalah saat untuk bermain. Bermain juga penting untuk melatih fisik, emosi, imajinasi, dan kreativitas anak. Sayang sekali apabila ibu sampai melarang anak bermain semata karena "program anak cerdas dan kreatif".
"Mencetak" anak cerdas dan kreatif juga berarti ibu harus berperan aktif. Memang, anak yang kreatif tidak aakn jadi dengan sendirinya, melainkan harus diarahkan. Namun, di sisi lain, kreativitas -yang mensyaratkan kebebasan- tidak akan berkembang apabila anak tidak diberi kesempatan. Kebebasan tanpa batas dapat berakibat buruk dan justru tidak menunjang kreativitas.
Sebaliknya, disiplin kaku tanpa toleransi berpotensi mematikan kreativitas anak. Oleh karena itu, kebebasan dan disiplin harus dimainkan secara serasi agar anak dapat mengembangkan potensinya secara optimal.
Kreativitas
Imajinasi adalah kata kunci kreativitas. Menurut para ahli, potensi kreativitas itu mulai meningkat pada usia 3 tahun dan mencapai puncaknya pada usia 4,5 tahun. Kemudian, potensi itu akan segera menurun pada saat masuk sekolah dasar. Oleh karena itu, upaya perangsangan kreativitas pada usia prasekolah menjadi sangat penting.
Ada banyak cara untuk mengembangkan kreativitas anak. Di rumah, ibu dapat melakukannya, misalnya dengan membiarkan anak mengatur kamar tidurnya sendiri. Sedangkan di sekolah, dapat dilakukan dengan mengembangkan cara belajar-mengajar yang mendorong anak untuk aktif. Cara-cara belajar yang mengandalkan metode hafalan atau memaksa anak untuk mengikuti berbagai kursus justru merusak kreativitas dan imajinasi anak.
Anak bermain bagi banyak ibu dianggap sebagai "pemborosan waktu". Dalam pandangan mereka akan lebih baik jika waktu untuk bermain itu dipakai untuk kegiatan belajar yang tidak mengandung unsur permainan. Anggapan ini sangat keliru, karena bermain bagi anak bukanlah sekadar untuk mengisi waktu senggang. Seorang pakar bahkan mengingatkan, jika kebebasan bermain tersebut dihambat, pada masa selanjutnya daya kreatif, daya imajinasi, bahkan kemampuan belajar anak bakal mengalami hambatan yang serius.
Musik, olahraga, dan berbagai kegiatan yang melibatkan gerakan lainnya banyak menentukan perkembangan anak untuk masa depan. Banyak ibu hanya peduli dengan hasil akhir, tanpa tahu bagaimana proses belajar terjadi. Hal itu yang mengakibatkan pengajaran hal yang bersifat kreatif, misalnya musik, sama seperti mengajar ilmu-ilmu lain. Padahal, jika diajarkan dengan benar, dapat meningkatkan daya imajinasi da pemahaman anak.
-kompas.com-
0 Response to "Mengasuh Anak Cerdas dan Kreatif"
Posting Komentar